Biografi Imru’ul Qois
Imru'u al Quais, Ibn Hujr Al-Kindi atau yang biasa kita sebut Ameru Al-Qays adalah seorang penyair Arab abad ke 6 seoarang pengarang muqallat antologi para islam bahasa arab kesusastraan dia adalah anak laki-laki dari dari Hujr raja terakhir kaidar Ameru Al-Qays yang berkuasa di Yaman dilahirkan sekitas tahun 501 dan meninggal pada tahun 544 ibunya bernama Fatmah Bin’t Rabia’ah dia mempunyai saudara perempuan bernama kulib dan Al-Muhalhl mereka adalah sosok pemimpin yang terkenal di Arab. Ameru AL-Qays dijuluki dengan sebutan Imru Al-Qais bint Aban teman teman akrab dari pamannya Al-Muahalhl.
Meskipun dia dibesarkan dalam kemewahan sebagai bagain dari anak seorang raja, dia juga menderita karena dia diasingkan dari kekuasaan setelah pembunuhan ayahnya. Oleh sebab itu orang Arab menamainya Al malek al delleel atau Raja Bayangan. Dia juga gemar menulis puisi cinta, dan diperkirakan sebagai pencipat Qasida, atau Ode bahasa Arab klasik.Dia diperkirakan dibunuh oleh Emperor Justinian I, yang mengiriminya sehelai mantel yang diracuni, ketika emperor tahu bahwa al-Qays mempunyai hubungan dengan seorang puteri di istananya. Puisinya disimpan di The Divans Wilhelm Ahlwardt yaitu berupa enam puisi Arab kuno (London, 1870), dan sudah diterbitkan secara terpisah pada Le Diwan d'Amro'lkats William McGuckin de Slane (Paris, 1837); dan juga dalam versi Jerman dengan catatan di Amrilkais Friedrich Rückert der Dichter und König (Stuttgart, 1843)
Amrul Qais Umrul Qais adalah penyair arab jahili yang hidup pada 150 tahun sebelum hijrah. Jululukannya Al-Malik Ad Dhalil (raja dari segala raja penyair), penyair ini berasal dari suku Kindah yang pernah berkuasa penuh di Yaman. karena itu penyair ini dikenal dengan penyair Yaman (Hadramaut). Syamsuddin dan Hambali (1993: 200) mengatakan dia merupakan penyair yang pertama kali memperindah makna lantunan syair serta memakai bahr tiwaal begitu juga dia yang pertama kali mensifati wanita dengan pedang, banteng, dan telur yang terpelihara. Umrul qais seorang anak raja Yaman bernama Hujur Al-Kindy, Ibunya Fatimah binti Rabia’ah. Segi penyair ini sangat berpengaruh dalam kepribadian penyair ini, ia dibesarkan di Nejed dengan kehidupan dunia yang melimpah dan dalam lingkungan keluarga yang suka berfoya-foya. Kebiasaan buruknya penyair ini sering mabuk-mabukan, bermain cinta dan melupakan kewajibannya sebagai putra mahkota yang seharusnya mawas diri dan melatih diri memimpin masyarakat karena peringainya buruk ayahnya sering memarahinya dan akhirnya ia dibuang, diusir oleh ayahnya dari Istana. Selama dalam pembuangan penyair ini mengembara kesegala penjuru jazirah Arab dan kelak pengembaraan inilah yang membawa pengaruh kuat dalam syairnya, karena dari pengalaman pengembaraan seluas itulah ia mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru baginya. Umrul Qais bergabung bersama orang-orang Badui, orang Badui ini sangat senang bergabung dengan Umrul Qais karena ia banyak harta dan pendukungnya.
Ketika Umrul Qais sedang asyik berfoya foya, tiba-tiba datang kabar kematian ayahnya terbunuh ditangan Kabilah bani Asaf yang sedang memberontak kepada kekuasaan ayahnya. Kematian ayahnya itu menuntut Umrul Qais untuk kembali ke Nejed agar dapat membalas kematian orang tuanya. Panggilan itu tidak disambut baik oleh Umrul Qais, bahkan dengan sambil bermalas-malasan ia berkata: “dulu semasa kecilku aku dibuang, kini setelah dewasa aku debebani oleh darahnya, biarkan saja urusn itu, sekarang adalah waktunya untuk mabuk-mabukan dan besok untuk menuntut darahnya. Namun tak lama kemudian penyair ini berangkat menuju ke Nejed untuk menuntut balas kematiaan orang tuanya. Untuk melaksankan niatnya itu Umrul Qais terpaksa meminta bantuaan ke kabilah-kabilah Arab yang berada disekitarnya. Sehingga pertempuran ini berkecanuk lama dan akhirnya ia terdesak, melarikan diri menuju kekerajaan Romawi Timur (Bizantium) di Turki. Di tengah perjalanan penyair itu terbunuh oleh musuhnya dan dimakam kan di kota Angkara Turki.
Puisi umruul al- qais banyak yang hilang, yang tersisah hanya sebagian kecil yang terselamatkan, yaitu kurang lebih ada 25 kasidah. Kasidah tersebut pernah di cetak pertama di Paris tahun 1838, cetakan kedua di lengkapi dengan penjelasannya yaitu di Mesir tahun 1865, cetakan ketiga 1890 di Mesir, cetakan terakhir di terjemahkan di dalam bahasa latin dan bahasa Jerman dengan tiga puisinya yang terkenal.
قِفاَ نَبكِ من ذِكرى حَبِيبٍ و مَنزِلٍ * بِسِقطِ اللوَى بينَ الدخُول فَحَومل
الاعِمْ صَباحاً ايُّها الطّللٌ البالى * وَهلْ يَعِمَنْ مَنْ كانَ في العُصرِ الخالى
خَليْليَّ مُرًّ بينَ على أُمِّ جُنْدُبٍ * لِتَقضَى لباناتِ القُؤاد المُعَدَّبِ
“Marilah kita berhenti sejenak, dan meratapi kekasih di daerah Syiqtulliwa, yaitu kota yang terletak antara kota Dakhul dan Haula. Karena kota tersebut dalam benakku mengandung makna khusus untuk mengenang peristiwa penting dan kenangan abadi yang terjadi antara saya dan kekasih saya.
Hai tempat yang dahulu, lamakah masa pagimu, apakah si penghuni sekarang juga masih tetap seperti penghuni dahulu sebagaimana saya ketahui itu.
Kekasihku dulu bernama Umi Jundub, marilah kita semua berhenti sejenak di bekas tempat tinggalnya itu sebagai pelipur lara dan penghibur hatiku yang sedang duka.”
Ghazal tersebut diatas adalah mempunyai gaya bahasa yang tersendiri, dan gaya bahasa tersebut juga sudah biasa dipakai penyair-penyair kita yang terkemudian. Yaitu gaya bahasa dengan mengenang kisah cinta abadi yang masih dirasakan keindahannya oleh penyair dan kekasihnya ( Unaizah atau Fathimah ) di samping itu, penyair juga menentukan bahwa dirinya mengenal dan mendalami kejiwaan wanita. Kadang – kadang Umruu al-Qais juga mengenang keindahan wanita bersama dengan mengenang kenikmatan harta benda dan kekayaan sebagai seorang putra raja.
Kadang – kadang ia mengungkapkan puisi ghazal bersamaan dengan mengungkap tujuan lain, misalnya : memanggil seseorang, meratapi seseorang, mengharapkan seseorang, merasakan kehinaan dan merasakan keluhuran sebagaimana ungkapannya.:
أَفاَطِمُ مَهْلاً بَعْدَ هذاالتَّذَلُّل * وَإِنْ كُنْتِ قَدْ أزْمَعْتِ صَرْمى فأَجْمِلىْ
أغُرُّكِ مِنِّى أنَّ حُبّك قَاتِلِىْ * وَإنّكَ مَهْماَتأمُرِىْ القَلبَ يَفعَلِ
“Hai Fathimah, tunggulah sebentar, coba dengarkanlah kata-kata ini, apakah kau akan memutuskan cintaku ini, setelah kau mencintaiku dengan sepenuh hati?
Apakah kau merasa tertipu dengan cinta yang kuberikan kepadamu itu? Itulah yang menyebabkan hatiku gundah dan putus harapan, katakanlah dengan terus terang wahai kekasihku, apakah dinda merasa tertipu?”
Ada lagi puisi Umruu al-Qais yang sudah diabadikan yang disebut Mu’allaqat, yaitu dia mengungkapkan kegelapan malam dan keindahan kudanya:
وَلَّيلِ كَمَوْجِ البَحْرِ أرْخَى سُدُوْلهُ * عَلَيَّ بِأَنْواعِ الهُمُوْمِ لِتَبْتَلى
فَقُلت لهُ لَمّاَ تَمَطَّى بصلّبهِ * وَأرْدَفَ إعْجازاً وَناَءَ بكَلّكَلِ
ألاأيُّهاَ اللّيْلُ الطويلُ ألاَانجَل * بصبحِ وَماَ الإصباحُ مِنْكَ بأمْثلِ
فَياَلكَ مِنْ لَيْلٍ كَأَنَّ نُجُوْمَهُ * بكُلِّ مَغاَرِالفتلِ شُدَّتْ بيَذْبَلِ
Artinya : “Malam bagaikan debur ombak lautan yang menggelarkan airnya, saya merasakan musibah beban saya yang makin berat, terus-menerus dan bertubi-tubi tanpa henti-hentinya, apakah dengan musibah itu saya masih bisa menunjukkan kesabaran atau saya malah tidak tabah bahkan selalu ketakutan?
Setelah saya memperkirakan bahwa beban musibah itu hampir usai, namun perkiraan saya itu meleset, jadi musibah bukan usai tetapi malah makin menjadi-jadi dan sayapun makin terseok-seok kepenatan.
Oleh karena itu, maka saya katakan pada malam yang gelap, “Hai malam percepatlah perjalananmu segera selesaikan tugasmu, agar kegelapanmu cepat hilang, dan beban pikiranku yang kacau balau cepat berganti dengan kejernihan dan keindahan sinar pagi. Saya mengira pagi lebih baik daripada kegelapan malam.
Namun ternyata perkiraanku meleset juga, sinar pagipun tidak membawa kecerahan, ketenangan, dan keamanan, kedukaanku terus bertambah siang dan malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar